Minggu, 06 Juli 2008

AKU BANGGA SEBAGAI DAYAK....

Oleh Yohanes Supriyadi


Tidak terasa, usiaku telah 30 tahun pada tahun 2008 ini. Sebuah masa, yang juga sering disebut almarhum bapakku sebagai masa manusia transisi. Transisi baik dari sisi emosional, intelektual maupun finansial. Dimasa-masa inilah, menurut beliau, aku harus sudah pada tataran “bukan lagi menguliti diri sendiri, melainkan sudah memaksimalkan network yang sudah terbangun, untuk mencapai kematangan emosional, intelektual dan financial !”. aku ngeri juga dengan “peringatan” ini, tapi, harus tetap dilalui. Satu hal yang paling penting untuk mencapai dan lulus ujian masa transisi ini, “kamu harus fokus”, sekali lagi fokus. Satu kata ini, telah diucapkan bapakku 8 tahun lalu dan yang paling “masuk” dialam pikiranku selama bertahun-tahun. Awal desember 2006, empat tahun setelah kematiannya, tanpa sengaja, aku melihat buku yang mirip dengan ajaran beliau. Judul buku itu adalah “The Power of Focus”. Menurut penulis buku ini, Jack Canfield, Mark Victor Hansen dan Les Hewitt, ada tiga tantangan terbesar yang akan aku hadapi saat ini (usia 30 tahun), yakni tekanan waktu, tekanan keuangan, dan pergumulan untuk memelihara keseimbangan yang sehat antara pekerjaan dengan rumahtangga ?. Bagiku, kecepatan kehidupan masa ini terlalu kacau, seperti berdiri diatas treadmill yang pokoknya tidak mau berhenti. Tingkat stress sangat tinggi. Aku semakin perlu serba-bisa agar tidak menjadi pecandu kerja yang kelelahan, yang mempunyai sedikit sekali waktu bagi keluarga dan teman-teman dan hal-hal yang lebih baik dalam kehidupan ini. Meski, banyak juga yang menanggung beban rasa bersalah yang bahkan menambah stress. Sebagaimana yang aku lihat dan rasakan sendiri, saat ini, telah masuk sebuah era yang dibayangkan oleh Alfin Toffler dalam bukunya “The Third Wave” , masyarakat gelombang ketiga dari peradaban masyarakat dunia. Dari masyarakat peramu, menjadi masyarakat petani, menjadi masyarakat industri dan menjadi masyarakat informasi. Tandanya, menurut sebuah survey, Indonesia telah menjadi Negara urutan ke-15 dari seluruh dunia sebagai pengguna internet active. Luas biasa, bukan ? Ini cerita menarik lainnya. Dua bulan terakhir, aku, dilanda suatu gejolak yang besar yang melibatkan banyak orang. Dunia luas telah hadir tepat dikelopak mataku, hanya melalui sebuah web blog di internet. Menurut survey temanku, A.A. Mering, pencetus gerakan web blog ini di Kalbar, sudah hamper 2000-an orang blogger yang active di internet dan tergabung dalam komunitas yang diberinya nama Borneo Blogger Community (BBC). Beragam informasi, tulisan, dan beraneka macam symbol peradaban baru di dunia telah terhidang didepanku kini. Akupun mulai merenungkan apa yang terjadi dan mencari tahu arti dari peristiwa ini. Satu hal yang ku dapat dengan web blog ini, yakni “revolusi peradaban”. Sebuah gerakan terpenting diabad ini, yang mampu mengubah perilaku dan peradaban dunia, termasuk aku sendiri. Internet aku rasakan telah menjadi jendela dunia baru, untuk mengetahui berbagai hal, yang sebelumnya tidak pernah kuketahui. Bagiku, mungkin internet telah menjadi wujud fisik dari apa yang kita kenal sebagai Tuhan, Tuhan Yang Maha Tahu. Malahan, untuk menggambarkan dirinya sebagai masyarakat informasi, A.A.Mering, pendiri BBC, mempatenkan icon barunya “lebih baik putus cinta, daripada putus internet”. Sebuah icon, yang menurutku fantastis, estetis dan unik !! Mungkin saja, renunganku ini masih jauh dari sempurna. Sebenarnya masih perlu diperbaiki, dipikirkan, diperdebatkan dan diubah beberapa kali. Tetapi waktunya mendesak, maklum, tulisan ini untuk memperingati 30 tahun kelahiranku, yang jatuh tempo 30 maret bulan lalu.
****

Hari ini, 93 hari yang lalu, aku telah berusia 30 tahun. Dalam hening malam, aku terduduk, meluruk halaman terbuka, disebuah kursi rotan buatan local 10 tahun lalu. Sejenak, nostalgia masa lalu melintas di benakku. Ya…, aku adalah titisan orang alam. Aku pernah hidup ditengah-tengah alam kampung, dan sebelumnya, aku tidak memiliki buku lain dari pada alam, untuk dibaca, dikenali dan dipelajari. Hingga diusia 30 tahun, aku mulai tersadar akan perubahan. Perubahan yang sedemikian cepat, mirip dengan kredo “bergerak cepat atau mati !!!”, kredo globalisasi…… Beberapa kali, aku harus masuk rumah dan mengambil beberapa buku, umumnya buku-buku kehidupan; masa lalu dan masa kini. Sebuah buku, terselip diantara buku wajib kebanggaanku “The International Jew”, sebuah buku yang menceritakan bagaimana kaum Yahudi menguasai Amerika, bahkan dunia, termasuk Negara pulau, sangat kecil (sama dengan pulau Bali) yang kini tetangga Indonesia, Singapura. Covernya warna kuning muda, terlihat lusuh. Kelusuhan buku inilah, yang kemudian menarik minatku untuk membuka dan membacanya. Sejak terbit tahun 1997-jam ini, sudah sebelas kali aku membaca buku kecil ini !!!. Menurut pater Yeri, penulisnya, sebelum perang Jepang, orang Dayak (dan pasti dikampungku) pada umumnya belum tertarik menganut agama Kristen. Mereka sangat terikat dengan adat. Adat adalah sesuatu yang suci, sacral, warisan nenek moyang yang tidak bisa dan tidak boleh diganggu. Melanggar adat terlalu berbahaya. Pastor asal Belanda yang sudah menjadi warga Negara RI ini, sebelum Jepang masuk, propaganda mengenai Indonesia cukup kuat masuk didaerah Kalbar (pasti juga termasuk dikampungku). Aktivis Indonesia (umumnya Parindra), katanya, juga keluar masuk kampong, membentuk pengurus dan mencari anggota. Banyak diantara orang kampong yang menjadi pengurus dan anggota. Dari sekian banyak Indonesianis, yang cukup aktiv dan didukung orang sekampung adalah Parindra dan P.A.B (Persatuan Anak Borneo). Pada waktu itu, orang kampong berbicara mengenai agama Katolik, agama Parindra dan agama P.A.B. Dalam Majalah Battaki, edisi khusus Januari-Maret 1997, Pater yang sudah 49 tahun hidup ditengah orang dayak ini menulis, bahwa keadaan itu berubah drastic sesudah Jepang. Segala-galanya berubah. Orang Dayak, juga mengalami dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dengan caranya sendiri. Penjajahan Belanda dengan perantara Sultan dan Panembahan telah berakhir. Orang Dayak (saya “merasa” bagaimana orang dayak ketika itu, ketika membaca buku ini) merasa diri sungguh-sungguh dihargai. Gubernur pertama dan 4 Bupati orang Dayak. Mereka adalah pejabat P.D (partai politik peserta pemilihan umum pertama di Indonesia tahun 1955, yang dibentuk oleh intelektual dayak untuk memperjuangkan orang dayak secara politik). Pembesar-pembesar ini semua beragama Katolik, alumni persekolahan Nyarumkop, sebuah kampung terpencil dipesisir utara Kalbar. Beberapa penyelidikan yang sudah pernah dilakukan, menyebutkan bahwa mereka dapat diangkat karena mereka memperoleh suatu pendidikan yang baik di seminari menengah, sebelum Jepang, tepatnya di Manado Sulawesi Utara. Sepanjang sejarah Indonesia, Orang dayak (dan juga di kampungku), tidak pernah menuntut republic sendiri. Mereka dengan senang bergabung dalam Republik Indonesia. Aspirasi politik mereka, disalurkan lewat P.D. (Partai Dayak). Pada waktu itu juga, mulai muncul penyadaran bahwa sangat diperlukan suatu penyesuaian dengan zaman modern. Mereka mulai ingin ke sekolah-sekolah. Mereka juga mulai menganut agama, Katolik. Banyak hal yang mendorong mereka untuk memilih agama ini, mereka sudah kenal dengan pastor-pastor dan suster-suster, yang melayani mereka dengan sungguh, secara khusus di bidang pendidikan dan kesehatan. Rumah-rumah sakit (dan RS Bersalin, pen) yang ada semua dari Gereja Katolik. Sekolah-sekolah kebanyakan sekolah Katolik. Satu hal yang terpenting, Gereja Katolik, menghargai adat, lebih dari agama lain. Pendeknya, dunia orang dayak mulai terbuka. Dunia luar masuk dan mereka masuk dunia luar. Dan ini terjadi tanpa konflik yang berarti. Belum banyak jalan raya, perubahan terjadi tidak terlalu cepat. Identitas cultural tidak terancam.

Dan…..sekitar tahun 1993, terjadi suatu perubahan besar….

Ekonomi makro mulai berkembang, infrastruktur pedesaan membaik. Tetapi, keberadaan (kami) sebagai suku dengan identitas sendiri dan tanah sendiri mulai terancam. Kampungku, yang sebelumnya dilihat sebagai suatu daerah yang kurang berguna, dengan tanah yang kurang subur, mulai dilihat sebagai suatu daerah yang potensial. Tanah ternyata cocok untuk banyak jenis tanaman, persediaan tambang banyak dan bermacam-macam. Sebuah perusahaan perkebunan swasta besar masuk, Rokan Group. Memiliki beberapa anak perusahaan, diantaranya PT Agrina (membuka lahan perkebunan kelapa hibrida seluas ±12.000 Ha di Desa Menjalin dan Desa Raba) serta PT Purna Kahuripan (membuka lahan perkebunan kelapa hibrida dan coklat seluas ±10.000 Ha di Desa Nangka dan Desa Rees). Sejak itu, kampungku mulai terbuka…..Tetapi, akibat dari cara yang dipakai untuk membuka daerah, mengeksploitasi dan memproduktifkan sumber daya alam, lambat laun, orang di kampungku mulai hilang dari pusat perkembangan itu. Mereka hilang dari tempat dimana diambil keputusan mengenai masa depan tanah leluhurnya. Mereka masuk dalam bahaya besar menjadi orang pinggiran. Dan ini, terjadi karena dorongan dari luar, tetapi juga kelemahan diri mereka sendiri. Secara umum, Orang dayak (dan juga dikampungku), hamper tidak ada lagi suara di pemerintahan, tidak ada orang dalam militer yang menempati jabatan strategis. Mereka juga tidak memiliki modal. Memang, mereka mempunyai tanah. Tetapi ini mulai diambil dari mereka (demi pembangunan) dengan bermacam-macam cara. Ekonomi dan kepentingan orang tertentu dalam praktek pembangunan menjadi lebih penting daripada keberadaan dan masa depan mereka sendiri. Mereka sering disepelekan dan disisihkan. Di Borneo Barat, masih ada banyak guru orang dayak. Tetapi situasi inipun akan berubah drastic dalam 20 tahun mendatang. Dengan dihapusnya SGA tahun 1980-an, SPG tahun 1990-an, dan PGSD tahun 2000, kemungkinan untuk orang dayak menjadi guru sangat berkurang. Kalaupun sekarang ada FKIP di universitas negeri, orang dayak sulit masuk. Hanya ada peluang jika pemuda dayak mendaftar di STKIP swasta, tetapi berbiaya mahal. Sekolah-sekolah swasta yang dikelola Gereja Katolik diperkotaan, siswa dan mahasiswa umumnya bukan orang dayak. Sekali lagi, mereka kesulitan. Orang luar memang pintar. Dengan kekuasaan ditangan, mereka memusatkan dan memperhatikan fasilitas pendidikan, ekonomi, pemerintahan di kota-kota besar, kemungkinan bagi orang dayak, menikmati itu dalam praktek cukup berkurang. Mereka tidak bisa mempergunakan nepotisme, dan juga tidak ada koneksi, tak bias kolusi dan tak punya uang upeti. Dalam praktek, semua bidang, dipusatkan di kota dan diurus oleh orang bukan dayak. Sejak tahun 1981, berpuluh-puluh orang datang dari kota, keluar masuk kampong. Mereka ini utusan dari berbagai proyek besar pemerintah pusat di Jakarta. Ada proyek P2KP, P3DT, PPK, dll. Ada juga dari berbagai utusan LSM, yang kantornya di kota besar. Hamper setiap bulan, petugas-petugas khusus ini datang ke kampong dan menggurui orang kampong, memperlakukan mereka sebagai anak yang masih bodoh, sampai orang kampong merasa diri lagi dalam keadaan zaman dulu: sultan atau panembahan dan mereka (dayak) sebagai bawahan. Selama ini, aku juga menyaksikan langsung pergumulan dikampungku dan kampong-kampung sekitarnya. Dalam pembagian subsidi untuk bidang agama, misalnya, pemerintah memegang “teguh” distribusi uang/proyek untuk bangun rumah Tuhan dengan prosentase 90% islam dan 10% non islam, walaupun di Kalbar menurut statistic pemerintah tahun 1990, 41% Dayak dan 13% Cina. Ini berarti bahwa pasti 54% non-islam. Kelompok-kelompok non dayak mampu dengan bantuan pemerintah membangun rumah ibadat yang bagus, tetapi orang dayak (dan juga dikampungku) sering tidak mampu. Dan ini, sangat mengganggu perasaan keadilan dan kejujuran yang dimiliki oleh orang dayak. Dan apa yang paling dirasakan oleh orang dayak adalah transmigrasi. Proyek ini telah berlangsung secara resmi sejak tahun 1960, 1970, 1980, 1990, 2000, dan sekarang. Yang tidak resmi (dengan bantuan pemerintah), aku rasakan justru paling besar. Untuk proyek transmigrasi itu, pemerintah menyiapkan tanah (dibebaskan) 2 hektar per keluarga, diberi sertifikat, rumah, jalan raya, puskesmas, rumah ibadat, biaya hidup selama dua tahun, dan lain-lain. Para transmigran umumnya beragama islam. Mereka ditempatkan disatu tempat dan diisolir mula-mula (cukup lama) dari orang setempat. Dilain pihak, orang dayak disekitar lokasi pemukiman proyek transmigrasi kurang diperhatikan. Tetap dalam kondisi yang sengaja diciptakan sebagai yang tersisih. Aku juga pernah merasakan sebagai anak transmigrasi. Selama 7 tahun (1982-1989), aku hidup dipemukiman transmigrasi ini. Namanya, proyek transmigrasi local. Tetapi dalam proyek-proyek itu, menurut cerita bapakku, korupsi pelaksana proyek sering begitu merajalela bahkan hamper tidak punya arti lagi bagi warga transmigrasi seperti bapakku. Warga transmigrasi local tidak diberi tanah 2 hektar, tidak ada sertifikat, tidak ada rumah ibadat, tidak ada puskesmas. Yang disediakan hanya rumah, dan biaya hidup selama dua tahun. Setelahnya, warga dituntut untuk mandiri. Akibatnya, mereka menjadi buruh tani (sewa lahan penduduk setempat untuk membuka sawah dan lading), buruh pada perkebunan karet. Lagi-lagi, mimpi untuk keluar dari kemiskinan pupus diera ini. Saat ini, aku baru dapat mengerti bahwa ketidakpuasan orang dayak dengan situasi, bersama dengan suatu ketakutan besar bahwa terancam hilang dipulau sendiri, dan frustasi karena system dan kekuasaan, menyebabkan mereka terluka yang teramat dalam. Akibatnya, mereka keluar atau meledak dalam kemarahan besar terhadap suku lain, yang dianggap ancaman terdekat (fisik), dan terkadang terjadi berulang-ulang selama puluhan tahun lalu. Aku melihat dan mengalami sendiri ledakan amarah orang dayak ini ditahun 1984, 1987, 1996, 1997 dan 1999. Kalau dikaji lagi lebih jauh, dari berbagai kerusuhan itu, kenapa umumnya generasi muda (usia SD-perguruan tinggi) banyak terlibat ? menurutku, hal teramat penting adalah karena mereka kecewa dan frustasi dengan situasi yang ada. Sekolah dan tidak sekolah sama-sama sulit untuk mendapat pekerjaan, meskipun proyek-proyek besar ada dikampung mereka. Frustasi, kecewa terhadap berbagai situasi yang dialami puluhan tahun, menjadikan orang dayak (dan juga massa rakyat di kampungku) tahun 2007 lalu melakukan perlawanan tak bersenjata. Mereka mengikuti arus demokrasi yang sedang berkembang di Indonesia, pemilihan gubernur secara langsung. Langsung oleh rakyat sendiri, bukan melalui perwakilan rakyat. Peluang orang dayak juga ada, karena satu orang pembesar dayak muncul ke permukaan dan siapkan dirinya untuk memimpin propinsi yang kini dihuni 4,1 juta orang. Aku ingat, sekali lagi aku masih ingat…..Suatu hari, entah kenapa secara tak sengaja, aku pulang kampong. Kanan-kiri jalan dipenuhi bendera, spanduk, sticker, baliho. Semuanya berwarna merah. Disetiap jalan keluar masuk kampong, sepanjang jalan utama, sejak pagi orang dayak sudah berkumpul dan menunggu komando. Ada juga yang berjejer disepanjang jalan, mereka berjalan kaki dipanas yang terik siang itu. Semua menuju lapangan sepak bola. Dilapangan itu, puluhan ribu orang Dayak berteriak lantang. Tangan mengepal keras dan meninju awan. Mulutnya bergetar dan terbuka lebar;”REVOLUSI atau MATI”. Sejenak aku terdiam, mungkinkah slogan yang keluar dari mulut yang sedemikian lugu, jujur dan bersahaja ini berasal dari hati nurani yang terdalam ? hanya saat itu, aku menyadari, suasana sedang trance, mata mereka juga memerah. Ini didukung oleh balutan kain merah dan sepanjang jalan kampong penuh kain-kain berwarna merah. Diatas panggung, ditengah lautan manusia, seseorang pembesar dayak berorasi. Tangan mengepal keras dan serentak meninju awan, hitam diatas atas sana.
“41 tahun telah berlalu, negeri ini dikuasai. 41 tahun kita dalam kubangan lumpur. Kita menjadi kuli dinegeri sendiri. Karena itu, saya mengajak anda semua, berani revolusi ?”
“beraniiiiii”
“kalau berani, jangan takut-takut. Kalau takut, jangan berani-berani”
“jangan lupa, tanggal 15 november, kita revolusi. Tusuk saja nomor urut emmmm...….”
“…..paaaaaaaat”
Dalam hatiku, pasti, tahun depan akan terjadi lagi perubahan yang teramat cepat…..Hari-hari kulalui,…tidak terdengar, terlihat, terbaca, suatu rencana besar, apalagi program besar, untuk perubahan cepat oleh pembesar propinsi yang telah diangkat. Kini, 129 hari berlalu sejak seorang dayak diangkat resmi sebagai gubernur. Banyak harapan orang dayak dipundaknya. Sudah banyak, aku catat komentar, saran, kritik dan harapan muncul. Dari orang dayak yang tidak bersandal-hingga bersepatu mahal. Dari orang dayak yang pejalan kaki- hingga orang dayak yang bermobil mewah. Dari orang dayak yang buta huruf hingga orang dayak yang bertitel professor. Semuanya serempak bertanya, “akankah revolusi terjadi dalam 5 tahun kedepan ?”
*****
Lima hari berturut-turut, lima jam setiap hari, aku dan teman-teman setiaku, lelah berdiskusi tentang arah, langkah-langkah strategis untuk mengawal perubahan yang akan terjadi di bumi yang kurasakan sudah cukup tua ini. Globalisasi, benda aneh itu. Sebuah keadaan yang awalnya amat menakutkanku. Enam buah buku yang mengulas tentang globalisasi sedemikian cepat ku lahap setiap dua jam sehari. Mansyour Fakih, misalnya, mengatakan bahwa globalisasi dideklarasikan pada bulan April 1994, di Marrakesh, Maroko. Saat itu, menurut aktivis ini, terjadi pertemuan wakil Negara-negara industry dunia, dan menandatangani suat kesepakatan internasional perdagangan, yang dikenal dengan General Agreement on Tariff and Trade (GATT). GATT, merupakan suatu kumpulan aturan internasional yang mengatur perilaku perdagangan antar pemerintah. GATT juga merupakan forum negosiasi perdagangan antar pemerintah, dan juga merupakan pengadilan jika terjadi perselisihan dagang antar bangsa bisa diselesaikan. Aku semakin penasaran, tidak ada yang mampu menjelaskan lebih rijit mengenai anak-anak globalisasi. Syukurlah, Om Google mampu menjawab rasa penasaranku. Menurut para informan Om Google, Kesepakatan Negara-negara maju itu dibangun diatas asumsi bahwa sistim dagang yang terbuka lebih efisien dibanding sistim yang proteksionis, dan dibangun diatas keyakinan bahwa persaingan bebas akan menguntungkan bagi negara yang efektif dan efiesien. Setahun setelah pembentukan GATT, berdiri lagi organisasi pengawasan perdagangan dan kontrol perdagangan dunia, yang dikenal dengan nama World Trade Organizations (WTO). WTO rupanya, khusus didirikan untuk mengambil alih fungsi GATT. Sekarang ini, WTO merupakan salah satu aktor dan arena forum perundingan perdagangan mekanisme Globalisasi yang terpenting. Francis Wahono, dalam bukunya “Nirwana Itu Niscaya”, menjelaskan bahwa setelah terbentuknya WTO, di berbagai tingkat, forum serupa juga dibentuk Negara-negara serumpun untuk menetapkan kebijakan perdagangan. Ada beberapa perjanjian dengan area yang lebih kecill, misalnya The North American Free Trade Agreement (NAFTA) antara Amerika Serikat dan Mexico, tapi juga ada kesepakatan yang bersifat regional seperti The Asia Pacific Economic Conference (APEC). Bahkan ada kesepakatan area pertumbuhan yang lebih kecil lagi seperti Singapore, Johor dan Riau (SIJORI) ataupun Brunei, Indonesia, Malaysia and Philippines East Growth Area (BIMP-EAGA). Bahkan, belakangan ini, Otorita Batam dibentuk sebagai kawasan kawasan pusat pertumbuhan ekonomi dengan kesepakatan dagang yang memiliki kesepakatan kebijakan tersendiri dan otonom. Kesemua persepakatan tersebut adalah merupakan forum-forum seperti WTO dalam skala yang lebih kecil dan lokal. Meskipun globalisasi dikampanyekan sebagai era masa depan yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran global bagi semua, namun sesungguhnya globalisasi sebagai lanjutan dari pembangunan sejak awal diragukan akan memenuhi janjinya. Aku, secara pribadi mencurigai globalisasi hanyalah bungkus baru dari kolonialisme.

Sejak ratusan tahun lalu, nenek moyangku telah hidup dan berkembang di sebuah pulau yang dikenal sebagai Borneo. Pulau ini merupakan pulau terbesar ketiga di dunia setelah Greenland dan Papua. Total luas pulau ini sekitar 743.925 km persegi. Sebagaimana kawasan lainnya di dunia, pulau Borneo pun tak luput dari terjangan arus globalisasi ini. Gosovic menyebutnya sebagai global intellectual hegemony. Sekelompok kecil elit yang memiliki sumber daya, jangkauan dan kekuasaan tak terbatas telah mempengaruhi jagat. Menurut bebebarap laporan penelitian yang sempat aku baca, tingkat keamanan ekologi Pulau Borneo saat ini berada di bawah standar aman. Itu terlihat dari rata-rata tutupan lahan hutan primer terhadap daerah aliran sungai (DAS) yang sudah di bawah angka minimum 30 persen. Sebuah kajian lainnya menunjukan bahwa, kondisi tersebut menyebabkan wilayah Borneo setiap tahun mengalami banjir dan tanah longsor. Masyarakat Borneo hanya menuai banjir dan longsor akibat kerusakan ekologi yang sangat parah. Pada tahun 2004, jika dirata-ratakan pada tingkat pulau, presentasi tutupan hutan alam primer terhadap DAS di Borneo hanya berkisar pada angka 20 persen. Data Departemen Kehutanan RI tahun 2004 menunjukkan bahwa kawasan hutan yang sudah kehilangan hutan di Borneo mencapai 1,8 juta hektar. Sementara kawasan hutan produksi yang juga sudah tidak berhutan lagi mencapai 8,2 juta hektar. Diperkirakan pada akhir 2006 tutupan lahan hutan primer terhadap DAS di Borneo akan terus menyusut hingga pada kisaran 15 persen, atau setengah dari kebutuhan angka minimum standar aman ekologi. Kalau sudah tidak aman secara ekologis, tentu secara berangsur akan menjadi tidak aman secara ekonomi. Aku juga sempat membaca hasil penelitian Greenomics. Disebutkannya bahwa nilai divestasi modal ekologis untuk pengendalian tanah longsor di Borneo mencapai Rp 25,47 triliun per tahun, dan untuk pengaturan gangguan ekosistem serta tata air Rp 10,80 triliun per tahun. Menurut hasil penelitian ini, nilai divestasi itu hanya parsial, belum termasuk kerugian karena hilangnya keragaman hayati dan lainnya. Parahnya, kerusakan ekologi Borneo ini semakin diperluas menyusul dukungan dari Pemda Kalbar dengan mengeluarkan Peraturan Daerah No.8/1994 tentang prioritas pembangunan sector pertanian subsektor perkebunan. Kebijakan ini kemudian diperkuat lagi dengan dihasilkannya Peraturan Daerah No. 1/1995 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Kalbar. Dalam RTRWP itu disebutkan bahwa seluas 5.257.700 Ha lahan akan disediakan untuk perluasan perkebunan (umumnya perkebunan kelapa sawit). Sampai Desember 2000, pemanfaatan lahan untuk perkebunan kelapa sawit di Kalbar telah mencapai 3.560.251 Ha (68 % dari 5,2 juta lahan yang dicadangkan). Saya juga ngeri atas sebuah laporan Treasure Island at Risk, yang memperkuat prediksi bank dunia 2001, bahwa seluruh hutan hujan dataran rendah—wilayah Indonesia di Pulau Borneo—akan hilang pada tahun 2010 dan diperkirakan masa depan hutan yang tersisa pun tidak jelas. Satu hal yang sangat aku khawatirkan adalah tentang persoalan perebutan sumberdaya alam, termasuk tanah dalam era ”Free Trade” dan liberalisasi perdagangan melalui WTO diatas. Pasti, menurutku akan menjadi sebuah fenomena yang baru yang berakibat negatif bagi masyarakat di kampungku. Dampak negatif WTO dan anak-anaknya akan besar sekali terhadap peminggiran peran masyarakat kampungku dalam menghasilkan pangan dan produk lainnya. Dengan kata lain kebijakan WTO yang mendorong ekspor dan impor hasil pertanian dan komoditi lainnya secara bebas, akan menggusur kemampuan petani kecil seperti warga kampungku sebagai penghasil pangan lokal. Satu lagi,….studi FAO tahun 2006 atas dampak negara yang mengimplementasikan kesepakatan pertanian ‘Uruguay Round” di 16 negara menyimpulkan, semakin terjadi konsentrasi pertanian yang berakibat pada marginalisasi petani kecil, meningkatnya pengangguran dan angka kemiskinan. Dengan meluasnya ekspansi globalisasi yang ditandai dengan ekspansi perusahaan asing, belakangan aku ketahui telah berhasil memaksa pemerintah Jakarta untuk mengubah kebijakan dengan mengalihkan subsidi bagi petani kecil menjadi subsidi kepada perusahaan agribisnis raksasa, dan proses ini sekaligus menggusur kemampuan petani kecil sebagai produsen. Salah satu akibatnya, bagi petani kecil di kampungku, adalah melepaskan sumber alam terutama tanah mereka. Disektor urban, kebijakan yang didorongkan melalui proses Globalisasi seperti penghapusan subsidi telah memarginalkan masyarakat miskin kota.
Mangap aku…………

Sei Jawi, 3 Juli 2008


0 Comments: